Rabu, 08 Mei 2013

Asal Usul Negeri Porto


Asal Usul Negeri Porto

           Masyarakat Porto memahami bahwa nenek moyang mereka yang pertama, berasal dari pulau Seram, dari Nunusaku (gunung suci di pulau Seram), maka asal ususl negeri Porto dan nenek moyang Talakua diceriterakan sebagai berikut  :

 Pada waktu penduduk mulai menyebar mencari tempat-tempat yang lain mereka dipimpin oleh empat orang kapitan, yaitu : Kapitan Wattimena Wael (yang nantinya menjadi moyang Wattimena di Makariki), Kapitan Wattimury (yang kemudian menjadi moyang Wattimury), Kapitan Nanlohy (yang kemudian menjadi moyang Nanlohy) dan Kapitan Talakua (yang kemudian menjadi moyang Talakua). Mereka bermusyawarah untuk menyepakati tujuan dan arah pengembaraan mereka  dan mereka sepakat untuk menghilir sepanjang sungai Tala. Tiba di Tala, mereka membuat suatu perjanjian dengan menanam sebuah batu yang dinamakan Manuhuru yang kemudian berubah menjadi Huse. Perjanjian yang mereka ikrarkan adalah : "Walaupun mereka nanti bercerai-berai, tetapi hubungan persaudaraan ini harus terus dipertahankan dan merekapun harus saling tolong-menolong". Tempat ini kemudian menjadi suatu batu pertanda tempat kenang-kenangan dari keturunan negeri Makariki, Amahai, Luhu dan Porto. Beberapa hari kemudian Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua naik keatas rakit untuk bermain-main, tetapi rakit terbawa arus dan hanyut semakin jauh ke tengah laut. Mereka terdampar di suatu tempat bernama Nanuluhu dan Kapitan Nanlohy tertinggal di situ sedangkan Kapitan Talakua terus hanyut melewati Tanjung Umelputty (sekarang dekat desa Kulur) dan akhirnya terdampar di suatu teluk di pulau yang kemudian dinamakan pulau Saparua. Sampai sekarang orang meyakini bahwa sepasang tapak kaki yang tertinggal di Wasa dekat tanjung Umelputty adalah tapak kaki Kapitan Talakua yang pertama singgah di situ. Tetapi kemudian karena ingin mencari tempat tinggal yang aman atau kecendrungan untuk dekat dengan para leluhur (sesuai kepercayaan asli)  maka dibangunlah suatu Hena atau Aman di gunung Opal. Lama setelah itu Kapitan Nanlohy juga ikut terdampar  kesitu dan menurut hikayat Talakua,[1] ketika Kapitan Talakua melihat Kapitan Nanlohy berenang dekat tanjung itu, Kapitan Talakua mengambil sebatang galah untuk menolong Kapitan Nanlohy naik kedarat. Karena itu dalam sejarah pembentukan negeri Porto, Talakua dan Nanlohy mempunyai negeri lama yang sama yaitu di gunung Opal. [2] Selain proses migrasi dari pulau Seram kemudian berdatangan lagi orang-orang dari Maluku Utara, Irian Jaya, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur, mereka lalu  berkelompok membuat kediaman di pegunungan.

             Kecendrungan mencari tempat-tempat yang aman dan dekat dengan para leluhur sesuai keyakinan mereka itulah yang menyebabkan terbentuklah pemukiman-pemukiman penduduk di pegunungan. Mereka berkelompok dalam persekutuan-persekutuan yang  disebut Rumahtau atau Lumatau yang terbentuk dalam ikatan genealogis. Rumatau-rumahtau ini kemudian menggabungkan diri dalam suatu persekutuan yang disebut hena atau aman dan menempati lokasi-lokasi tertentu yang dipimpin oleh Ama. Aman berasal dari istilah pribumi ama yang artinya bapa atau tuan. Dengan demikian Aman adalah pemukiman yang dimiliki dan diperintah oleh Ama. Lokasi atau wilayah hunian inilah yang kemudian dikenal dengan nama negeri lama.

           Negeri lama-negeri lama di pegunungan yang dihuni oleh para leluhur masyarakat Porto adalah sebagai berikut :
Opal    : Opal adalah daerah pegunungan yang tertinggi dalam wilayah petuanan desa Porto. Negeri lama ini ditempati oleh Talakua dengan mengambil posisi sebelah depan (arah Timur) menghadap ke Saparua, dan Nanlohy yang menempati wilayah Opal bagian belakang (arah Barat) menghadap ke pantai. Talakua dan Nanlohy menempati negeri lama yang sama, sebab menurut cerita rakyat,[ 3] keduanya berasal dari Seram. (lihat asal-usul negeri Porto di hal. 68). Mungkinkah karena itu Talakua dan Nanlohy mempunyai Soa yang sama yaitu Soa Lesiruhu dan menjadi Soa Raja.

Selain Opal, juga ada negeri lama dari para leluhur yang lain seperti :
  1. Amahoru    : Negeri lama ini ditempati oleh Latuihamalo, dan kemudian menjadi Soa  Muarea.
  2. Sawahil      : Negeri lama ini ditempati oleh Polnaya, dan kemudian menjadi Soa Ulalesi.
  3. Tahuku       : Nageri lama ini ditempati oleh Sahertian, dan kemudian menjadi Soa Latarisa
  4. Latehuru     : Negeri lama ini ditempati oleh Wattimury, dan kemudian menjadi Soa Namasina
  5. Samonyo    : Negeri lama ini ditempati oleh Tetelepta, dan kemudian menjadi Soa Muahatalea
  6. Amatawari : Negeri lama ini ditempati oleh Berhitu, dan kemudian menjadi Soa Beinusa. Dalam cerita  asal usul bangsa Maluku. [4] dikatakan bahwa, Berhitu adalah orang Ameth ditempatkan di Porto (negeri lama) atas jasanya yang telah membantu Porto(kapitan Talakua), untuk berperang melawan Johor. Menurut cerita itu, dikatakan bahwa, karena itulah Porto diberi nama menurut negeri Ameth, yaitu  Samasuru.
  7. Louwunyo  : Negeri lama ini ditempati oleh Aponno, dan kemudian menjadi Soa Lohinusa.

Pusat pemerintahan negeri lama-negeri lama ini ada di pegunungan Opal, di mana raja yang memerintah pada waktu itu adalah Talakua (yang digelar raja hutan). Struktur pemerintahan di gunung atau di negeri lama bersifat tradisional, tetapi unsur demokrasi sangat jelas terlihat dengan adanya pembagian kerja dalam struktur pemerintahan itu, seperti, ada pembagian peran raja, kapitan, mauweng, dan marinyo.Stuktur masyarakat juga sangat teratur seperti, rumatau, uku, hena atau aman, dan uli.
            Pembentukan hena atau aman ini juga terjadi dalam perebutan kekuasaan di wilayah pegunungan tetapi diceriterakan bahwa kemudian di wilayah pegunungan itu, terdapat persekutuan yang lebih besar yang disebut Uli Poru Amarima dan kemudian menjadi Ama Poruto.[5] Dari sinilah kita mengerti bahwa nama asli negeri Porto adalah Poru yang artinya menarik hati. Uli adalah gabungan beberapa hena atau aman, sedangkan Amarima artinya lima aman atau lima kampung, yang dipimpin oleh Kapitan Talakua, yang menjadi penguasa di Gunung Opal. Hal ini sejalan dengan apa yang ceriterakan oleh Sitaniapessy,[6]  bahwa : di akhir abad-13 dan awal abad-14, sudah ada penduduk Poru yang berkuasa di pegunungan Porto (nama Porto diberikan kemudian). Diceriterakan  bahwa, ketika Johor tiba di Saparua, tidak ada satu negeri pun yang berani berperang dengan Johor dan yang berani angkat senjata melawan Johor adalah Poru atau Porto. Kekuasaan Poru bahkan menjadi salah satu pertahanan kuat di gunung Opal dan di zaman Portugis dan Belanda, wilayah ini tidak tersentuh sama sekali. Selain perang Iha dan perang Pattimura, ada juga satu pusat pertahanan yang kuat dan tidak pernah dapat dikuasai oleh penjajah yaitu di Uli Poru Amarima.
           Selanjutnya guna memudahkan kompeni dalam politik perdagangan dan pengawasan, maka sejak masa Portugis, telah dimulai suatu kebijaksanaan untuk menurunkan penduduk dari pemukiman awal dipegunungan, ke tempat-tempat pemukiman baru di daerah pantai.[7] Proses pemindahan ini dicatat di zaman penjajahan Belanda atau VOC, membawa pula perubahan-perubahan yang luas dan penting dalam susunan masyarakat. Struktur masyarakat yang berpusat pada hena dan aman, kemudian menjadi  masyarakat negeri Porto di pantai. Cooley, dalam hasil penelitiannya mengatakan bahwa, proses perpindahan itulah yang menyebabkan terbentuknya negeri-negeri di pesisir pantai yang terjadi antara tahun 1480-1660.[8] Ketika negeri terbentuk maka istilah hena dan aman tidak digunakan lagi dan selanjutnya dipakai istilah matarumah (untuk marga dalam keturunan genealogis), soa (persekutuan dari beberapa matarumah yang bukan lagi persekutuan genealogis tetapi persekutuan teritorial) dan negeri (gabungan beberapa soa dalam wilayah tertentu).
           Mengenai perpindahan penduduk Lease dari gunung ke tepi pantai di Saparua, Maryam Lestaluhu, dalam buku hasil penelitiannya mengatakan bahwa, nanti setelah jatuhnya Kapahaha dalam tahun1645, Gubernur Demmer mulai mengarahkan perhatiannya ke Iha (kerajaan Iha).[9] Dalam tahun 1647 setelah pergolakan di jazirah Hitu (pulau Ambon) dapat diatasi, Gubernur Demmer menginstruksikan kepada penguasa Iha supaya rakyatnya disuruh turun berdiam di tepi pantai. Memang kapan persisnya pembentukan negeri Porto tidak mudah untuk  diketahui, tetapi dengan mengacu pada beberapa sumber di atas, dapat diperkirakan bahwa perpindahan penduduk Porto dari pegunungan ke pemukiman baru di tepi pantai (negeri Porto sekarang) terjadi menjelang abad ke-17 (kurang lebih 300 tahun yang lalu).  Perpindahan ini terjadi atas keinginan dan kemauan VOC yang adalah alat kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, maka arus perpindahan itu juga tidak terjadi secara serentak tetapi bertahap karena ada penduduk yang tidak mau turun dan tetap bertahan (mempertahankan kekuasaannya) di pegunungan atau negeri lama.   
           Bagi masyarakat Porto, perpindahan penduduk dari pegunungan ke pemukiman baru di tepi pantai terjadi dalam dua tahap yang disebut Uku Toru dan Uku Rima. Uku Toru adalah kelompok tiga yang turun lebih dulu ke negeri di pantai yaitu : Nanlohy, Sahertian dan Polnaya sedangkan, Uku Rima adalah kelompok lima yang turun kemudian, yaitu : Latuihamallo, Tetelepta, Wattimury, Berhitu dan Aponno.[10] Walaupun demikian, masih ada yang tetap bertahan di hutan atau pegunungan dan tidak ikut dalam arus perpindahan itu, yaitu Talakua yang tidak bersedia untuk menyerah kepada Belanda. Karena itu Talakua diberi gelar raja utang atau Namasina. Sedangkan di pemukiman baru, pemerintah kolonial Belanda mengangkat Nanlohy menjadi raja dinegeri yang baru, dan diberi gelar Raja pantai atau Nikisina. Sejak itulah negeri yang baru itu diberi nama Poruto (dari Poru atau Amaporuto)  dan kemudian berubah menjadi Porto. Porto disebut juga Sama Suru Amalatu Poru Amarima.[11] Nama ini mengingatkan masyarakat negeri Porto tentang sejarah pembentukan negeri sejak bermukim di pegunungan atau negeri lama, sampai menempati wilayah pemukiman baru di tepi pantai sampai sekarang.

Asal Usul Adonara


SEJARAH ADONARA
                                    Gunung Boleng di Pulau Adonara



     Adonara adalah sebuah pulau kecil yang cukup subur di ujung timur pulau flores.
SIAPAKAH nenek moyang orang Adonara?Sesuai penuturan adat turun temurun, sebagaimana dikemukakan tokoh masyarakat Adonara, H Syamsudin Abdullah (75).
Orang asli Adonara adalah turunan seorang wanita yang bernama Sedo Lepan.Wanita ini adalah manusia primitif paling pertama yang menghuni Pulau Adonara.Tubuhnya ditumbuhi bulu lebat.Wanitan pertama ini muncul bersamaan dengan timbulnya gunung Boleng.
    Pada suatu saat terjadilah suatu keajaiban yang luar biasa dimana tubuh Sedo Lepan ini "pecah" dan keluarlah seorang wanita lagi yang kemudian dikenal dengan namaKewae Sedo Bolen. Saat itu, di Pulau Adonara belum ada manusia lain selain wanita ini. Selama bertahun-tahun ia hidup sendirian di lereng Ile (gunung) Boleng. Kemudian suatu ketika, datanglah seorang laki-laki dari pantai selatan Pulau Lembata yang bernama Kelake Ado Pehan.Ia diusir dari Lembata karena dituduh sebagai seorang suanggi yang menyebabkan meletusnya Gunung Adowojo.Ia lari dengan menggunakan sebuah perahu yang terbuat dari sebatang kelapa dan terdampar di selatan pulau Adonara.
.

Singkat kisah, Kelake Ado Pehan kemudian bertemu dengan Kewae Sedo Bolen di puncak Ile Boleng sehingga keduanya menikah. Dari pernikahan kedua manusia pertama di Pulau Adonara itu, kemudian lahirlah tujuh putra yakni Lado Ipa Jarangyang( keturunannya ada di Boleng), Mado Paling Tale (keturunannya ada di Doken), Beda Geri Niha (keturunannya ada di Nihaona), Duli LedanLabi (keturunannya di Lewoduli), Kia Kara Bau (keturunannya ada di Wokablolon-Kiwang Ona), Kia Lali Tokan (keturunannya ada di Lewobelek) dan Sue BukuToran yang (keturunannya ada di Lewojawa-Lamahala.
Nama Adonara terdapat dua pengertian.Adonara berasal dari kata "Ado" dan "Nara". Ado ini mengingatkan orang Adonara akan pria pertama yang hidup di pulau itu yakni Kelake AdoPehan.Sedangkan "Nara" artinya kampung, bangsa, kaum kerabat.Jadi Adonara artinya Ado punya kampung, Ado punya suku bangsa, Ado punya keturunan dan kaum kerabat.

Adonara juga berasal dari kata Adoknara."Adok" yang yang berarti mengadu domba dan "nara" yang artinya kampung, suku bangsa, kaum kerabat, golongan atau Puak.Jadi Adoknara artinya mengadudomba warga antarkampung, suku bangsa, kaum kerabat.Pengertian ini merujuk pada watak khas orang Adonara yang "gemar" berperang. Jika hendak berperang, maka para pihak akan menghubungi "nara" yakni keluarga, saudara, kaum kerabat di kampung lainnya agar memihak kepada mereka dalam perang tanding.
Adonara juga sering dikaitkan dengan adu darah, yakni perang tanding yang terjadi di pulau itu."Dulu di Adonara dan Lembata masih dikenal dengan istilah perang antara Paji dan Demong.Dimana kelompok Demong berasal dari Lewopoti. Lewoleba, Tana Boleng, Horuhura, Lewomang, Wollo dan Baipito.Sementara kelompok Paji berasal dari Menanga, Lamahala, Lamakera, Lebala dan Watampao.
Apa pun pengertiannya saat ini masih sering kita dengar pertikaian berdarah di Adonara. Masalah tanah terutama menjadi pemicu terjadinya perang tanding. Watak menyelesaikan sengketa tanah dengan cara kekerasan ini - sesuai ceritra rakyat - disebabkan nenek moyang orang Adonara ditempa dengan kehidupan yang keras, dimana peristiwa pertumpahan darah sudah merupakan hal biasa.
Seorang tokoh muda asal Lembata, Muhamad Sengnama, mengatakan, anggapan bahwa orang Adonara sampai saat ini masih identik dengan sifat-sifat keras dan selalu ingin saling membunuh itu tidak benar.Orang Adonara tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan bahkan sampai membunuh kalau ada masalah yang menyangkut hal-hal prinsip semisal harkat dan harga diri pribadi, suku dan kampung.
"Tapi sekarang di Adonara sudah banyak masyarakat terpelajar.Banyak orang pintar di NTT bahkan Indonesia yang berasal dari Adonara. Sekarang ini yang harus dilakukan oleh orang Adonara yakni bagaimana menghilangkan image orang luar tentang perilaku keras itu,"
ASAL USUL MANUSIA ADONARA

Menurut penuturan sesepuh adat Ile Boleng yang ada di desa Boleng (Lamanele Atawatan), Lamanele, Lamanele Bawah (Nobo) dan Lama Bajung, bahwa antara Pati Golo dan Ado Pehang merupakan dua saudara kandung yang datang dengan berlayar dari daerah Rera Gere (timur). Keduanya mendapat musibah di selat Boleng, mengakibatkan Ado Pehang terdampar di Lembata, tepatnya wilayah Waibaja Loang. Sementara adenya Pati Golo terbawa arus dan terdampar di Solor (daerah sekitar Pamangkayo depan Kota Larantuka sekarang. Dari Solor Pati Golo Melihat cahaya api yang muncul di atas puncak Ile Mandiri.
Dengan keahlian yang dimiliki, Pati Golo membuat perahu untuk menyeberang ke Larantuka, dan terus menyusuri kaki gunung Ile Mandiri menuju sumber api yang dilihatnya. Dan bertemulah dengan seorang putri Ile Mandiri yang merupakan titisan Rera Wulan yang kelak menjadi isterinya.Pati Golo memiliki sifat kepemimpin, walaupun dia adalah adik dari Ado Pehang Beda.Maka Jadilah raja Pati golo yang bergelar Arakiang merupakan pengakuan dari kerajaan di Sulawesi.Pati golo dan isterinya putri titisan Rera Wulan Ile Mandiri (Watowele) beranak pinak dan menurunkan raja-raja lainnya di Lamaholot yang dikenal dengan clan (suku) Demong.
Sebaliknya, Ado (Pehang) Beda yang terdampar di Waibaja (Loang) mengembara ke pedalaman Lembata. Dalam pengembaraan, menyusuri sungai Waibaja sampai ke pertengahan Lembata, beliau tidak menjumpai seorang manusia, di hulu sungai Waibaja, atau orang pedalaman Lembata (Boto, Atawuwur dan sekitarnya) menyebut Wai Raja, Ado Pehang Beda menanamkan sebatang pohon cendana, sebagai batas perjalanannya (katanya hingga kini masih ada).
Selanjutnya Ado Pehang beda kembali lagi ke Waibaja. Dan di sinilah dia melihat adanya cahaya api di puncak Ile Boleng. Dengan kemampuan yang dimiliki, Ado Pehang (Beda) membuat perahu dan menyeberang ke Adonara.Dalam penyeberangan Ado Pehang mendarat di sebuah selat kecil yang dikenal sampai sekarang dengan sebutan Wai Tolang, di bawah desa Tanah Boleng sekarang. Daerah yang penuh batu tidak menghalanginya untuk menemukan sumber cahaya api yang ada di atas gunung. Akhirnya dia menjumpai suatu tempat yang sangat bersih di bawah sebatang pohon yang sangat rindang.
Singkat cerita, ditempat inilah Ado Pehang bertemu dengan Sedo Boleng yang merupakan putri titisan Rera Wulan Ile Boleng. Atas ijin dan restu Rewa Wulan, Tanah Ekan keduanya menjadi suami istri, yang kelak disebut klake (blake) Ado Pehang Beda dan Kwae sedo Boleng). Keduanya juga beranak pinak hingga menurunkan clan (suku Paji).
Turunan klake Ado Pehang dan Kwae Sedo Boleng merupakan turunan Rae Kbelan (Anak Wruin) maka dalam perkembangannya mereka tidak mau dikuasai oleh turunan raja Pati Golo yang dianggap Rae Rabe Arik.Kelangsungan beranak pinak Klake Ado Pehang dan Kwae Sedo Boleng agaklah unik.Mereka memiliki keberanian yang mumpuni tetapi tidak mempunyai jiwa kepemimpin pemersatu, namun tetap hidup dalam keakraban yang kental.Anak pinak Pehang Beda akhir hidup dengan bekerja sebagai petani dan mengolah tanah hingga Wai Tolang tempat pendaratan Ado Pehang pertama kali.
Dari sini sebagian dari mereka menetap di pesisir atau lebih dekat dengan laut yang dikenal dengan istilah ata watan dan yang tetap dipedalamanan disebut Ata Kiwang (bukan Islam dan katolik).Perkembangan pelayaran semakin ramai, membuat manusia Ata Watan sering berhubungan dengan pendatang dari sina Jawa, Ternate Tidore dan Sulawesi. Karena cara hidup yang berbeda membuat Ata Watan pindah lagi ke pedalaman, kelompok ini akhirnya menyebar membentuk Lewo Tanah Boleng, Lamawolo, Lamahelang, Lewo Keleng, dan yang masih di puncak Ile Boleng turun dan menetap di Haru Bala, Nobo, dan agak kevutara menetap di Lama Bajung.
Manusia Ata Watan yang bisa berbaur dengan pendatang akhirnya pindah ke Boleng yang dianggap tempat yang cukup strategis untuk berlabuh perahu, juga berlindung.Penyebaran anak pinak Ado Pehang tidak sedikitpun mencerai pisahkan tali persaudaraan mereka hingga kini, karena setiap pesta budaya adat mereka selalu bersatu hingga kini.
Semakin ramainya hubungan dengan dunia luar terutama dari Ternate, Tidore dari timur serta sina Jawa dan Sulawesi dari barat dan utara membuat mereka mulai mengenal cara memimpin dan membentuk raja-raja kecil. Misalnya ada yang menjadi Raja Lama Hala, Raja Lama Kera, dan raja Terong (kerabat) sedangkan Raja Menaga, Lohayong merupakan turunan dari Pati Golo.
Sementara Turunan Ado Pati yang ada di Lamanele (Lamanele, Nobo dan Boleng (tetap dianggap Ata Kiwang) karena masih tetap berhungan erat dengan orang pedalaman tetap hidup damai dalam kesatuan adat dan budaya tradisional (perubahan dari adat budaya primitif) tetap menjadi ata kebelan dan tidak menjadi wilayah kekuasaan Raja Lamahala, Lamakera, Witihama dan raja-raja lainnya. Manusia Lamanela atau yang disebut manusia Ile Ae (depan gunung) tetap dianggap ata kebelan oleh raja-raja sekitarnya, baik raja-raja yang dikenal dengan sebutan Solor Watan Lema, maupun Raja Witi Hama, Adonara dan Sagu.
Kebesaran Ata Kebelan Lama Nele disebut Ata Kiwang termasuk Boleng bisa dibuktikan dengan perasasti sejarah hingga saat ini, seperti:
1. Mendamaikan/menghentikan perang antara Raja Lama Hala dan Raja Lama Kera. Peperangan ini tidak bisa didamaikan oleh raja raja dari turunan anak pinak Pati Golo, karena mereka merasa yang berperang adalah Ata Kebelan.dan mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Kebelan Lamanele.Bukti sejarah hingga kini bisa disaksikan dengan dua buah benteng dari batu yang berdiri kokoh mengelilingi desa boleng yang dibangun oleh raja lamakera dan yang mengelilingi desa Lamanele Reren (sekarang Nobo) yang dibangun oleh Raja Lamahala.
2. Bukti prasasti lainnya adalah benda berbentuk naga yang terbuat dari emas tanah serta benda2 kuno lainnya yang masih tersimpan rapi di rumah adat Lamanele Reren (Nobo) merupakan hadiah dari para pendatang buat pembesar Lamanele walaupun bukan raja.
3. Atas persetujuan sesepuh adat Lamanele Reren dan Lamanele Blolon, sesepuh Boleng bisa menghentikan perang antara Paji dan Demong, sehingga terciptalah nama Adonara oleh anak pinak Pati Golo, bahwa pulau yang ada di depan Larantuka adalah milik Ado yang merupakan saudara dari Pati Golo. Ado adalah Ado Pehang sementara Nara adalah saudara.
4. Kehebatan manusia Lamanele tidak hanya di Adonara, tetapi sampai ke Lembata dan mampu meredam terjadinya peperangan di Lembata, sebagai hadianya, tanah di pesisir Wai Jarang hingga Wai Baja diserahkan kepada orang-orang Lamanela Ata Kiwan maupun Ata Watan. Kepemilikan tanah di Wai Jaran, Wewan Belan, Kwaka, Wai Baja di kabupaten Lembata hingga kini menjadi milik anak pinak Ado Pehang yaitu (orang Boleng di Wai Jarang, Wewan Belan, Wai Baja) sementara orang Lamanele Reren (Nobo) menguasai tanah di Kwaka.
Itulah sekelumit kisah orang yang saya dengar dari orang tuaku almarhum Bonto Ata Boleng, dan bapa Belan Gaen Roma Boli, yang merupakan anak cucu dari seorang tua yang beranak Asan Boleng yang merupakan teman akbar Raja Molo Gong.

PEMERINTAHAN
Adonara sendiri sebenarnya adalah sebuah pulau yang terletak di kepulauan Nusa Tenggara. Yakni disebelah timur pulau flores. Luas wilayahnya 509 km2 dan titik tertingginya 1.676 m. pulau ini dibatasi oleh laut flores disebelah utara, selat solor diselatan (memisahkan dengan pulau solor) serta selat Lowotobi di barat (memisahkan dengan pulau flores).
Secara administrative, pulau Adonara termasuk wilayah kabupaten flores timur, provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Adonara merupakan satu diantara dua pulau utama pada kepulauan di wilayah Kabupaten flores timur. Awalnya terdiri dari 2 kecamatan yang kemudian dikembangkan menjadi 7 kecamatan. Adonara dahulu merupakan  sebuah kerajaan yang didirikan pada tahun 1660 sampai saat sekarang Adonara terus berbenah baik dalam infrastruktur dan prasarana yang ada didaerahnya.
PARIWISATA
Pesona wisata budaya menjadi andalan dari pulau yang satu ini karena sampai dengan saat sekarang dimana refolusi teknologi tengah melanda dunia.Adonara masih berpegang teguh pada norma-norma dan adat istiadat.Sehingga tidak mengherankan kalau Adonara menjadi daerah tujuan wisata dari wisatawan mancanegara dan domestik.Tempat wisata yang sering dijadikan sebagai referensi bagi pelancong adalah desa-desa yang mempunyai basis budaya seperti rumah-rumah adat.Upacara adat seperti upacara pemanngilan hujan pada masa menjelang musim tanam upacara PA’O NUBA NARA, dan masih banyak yang lainnya.Selain wisata budaya Adonara mempunyai tempat-tempat wisata seperti danau KOTA KAYA dan wisata pantai. Suatu pesona wisata yang masih sangat perawan dengan memiliki pantai yang sangat eksotis, hamaparan pasir putih sepanjang mata memandang dengan deburan ombak yang memicu adrenalin bagi mereka yang senang surfing. Untuk akses ke Adonara sendiri, anda cukup menyeberang kurang lebih 30 menit dengan menggunakan kapal motor laut dari ibukota kabupaten flores timur, larantuka.

Selasa, 07 Mei 2013

ASAL USUL NEGERI TIDORE


                                   ASAL USUL NEGERI TIDORE

Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku. Sebelum Islam datang ke bumi nusantara, Tidore dikenal dengan nama Kie Duko, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api bahkan tertinggi di gugusan kepulauan Maluku yang mereka namakan gunung Marijang. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan dua rangkaian kata bahasa Tidore dan Arab dialek Irak: bahasa Tidore, To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’ dan bahasa Arab dialek Irak anta thadore yang berarti ‘kamu datang’. Penggabungan dua rangkaian kata dari dua bahasa ini bermula dari suatu peristiwa yang terjadi di Tidore.

Menurut kisahnya, di daerah Tidore ini sering terjadi pertikaian antar para Momole (kepala suku), yang didukung oleh anggota komunitasnya masing-masing dalam memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan. Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan pertumpahan darah. Usaha untuk mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami kegagalan.

Suatu ketika, diperkirakan tahun 846 M, rombongan Ibnu Chardazabah, utusan Khalifah al-Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu, di Tidore sedang terjadi pertikaian antar momole. Untuk meredakan dan menyelesaikan pertikaian tersebut, salah seorang anggota rombongan Ibnu Chardazabah, bernama Syech Yakub turun tangan dengan memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang. Kesepakatannya, momole yang tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan memimpin pertemuan. Dalam peristiwa itu, setiap momole yang sampai ke lokasi pertemuan selalu meneriakkan To ado re, karena merasa dialah yang datang pertama kali dan menjadi pemenang. Namun, ternyata beberapa orang momole yang bertikai tersebut tiba pada saat yang sama, sehingga tidak ada yang kalah dan menang. Berselang beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang menjadi fasilitator juga tiba di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena para momole datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang, akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syech Yakub. Konon, sejak saat itu mulai dikenal kata Tidore, kombinasi dari dua kata: Ta ado re dan Thadore. Demikianlah, kata Tidore akhirnya menggantikan kata Kie Duko dan menjadi nama sebuah kerajaan besar.

Menurut catatan Kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik tahta pada 12 Rabiul Awal 502 H (1108 M). Namun, sumber tersebut tidak menjelaskan secara jelas lokasi pusat kerajaan pada saat itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah kedatangan Djafar Noh dari negeri Maghribi di Tidore. Noh kemudian mempersunting seorang gadis setempat, bernama Siti Nursafa. Dari perkawinan tersebut, lahir empat orang putra dan empat orang putri. Empat putra tersebut adalah: Sahjati, pendiri kerajaan Tidore; Darajati, pendiri kesultanan Moti; Kaicil Buka, pendiri kesultanan Makian; Bab Mansur Malamo, pendiri kesultanan Ternate. Sedangkan empat orang putri adalah: Boki Saharnawi, yang menurunkan raja-raja Banggai; Boki Sadarnawi, yang menurunkan raja-raja Tobungku; Boki Sagarnawi, yang menurunkan raja-raja Loloda; dan Boki Cita Dewi, yang menurunkan Marsaoli dan Mardike. Kerajaan Tidore merupakan salah satu pilar yang membentuk Kie Raha, yang lainnya adalah Ternate, Makian dan Moti.

Berdasarkan legenda asal usul di atas, tampak bahwa empat kerajaan ini berasal dari moyang yang sama: Djafar Noh dan Siti Nursafa. Terlepas dari benar atau salah, kemunculan dan perkembangan legenda asal-usul tersebut secara jelas menunjukkan adanya kesadaran persaudaraan di antara kerajaan Kie Raha (gabungan empat kerajaan utama di Maluku Utara, yaitu: Ternate, Tidore, Makian dan Moti) sehingga mereka kemudian melegitimasinya dengan sebuah mitos asal-usul.

Sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan. Barulah pada era Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan dimana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.

Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.

Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saifudin (Jou Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soasio hingga saat ini.

Pada abad ke 16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku termasuk Tidore untuk mencari rempah-rempah, momonopoli perdagangan kemudian menguasai dan menjajah negeri kepulauan tersebut. Dalam usaha untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali pertempuran antara kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis dan Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga kolonial Eropa tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan kerajaan lainnya.

Sepeninggal Portugis, datang Belanda ke Tidore dengan tujuan yang sama: memonopoli dan menguasai Tidore demi keuntungan Belanda sendiri. Dalam sejarah perjuangan di Tidore, sultan yang dikenal paling gigih dan sukses melawan Belanda adalah Sultan Nuku (1738-1805 M). Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh kepulauan Maluku, termasuk Ternate, Bacan dan Jailolo. Perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan Nuku pada 21 Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kembali merdeka dari kekuasaan asing. Inggris yang juga ikut membantu Tidore dalam mengusir Belanda kemudian diberi kebebasan untuk menguasai Ambon dan Banda, dan mengadakan perjanjian damai dengan Sultan Nuku, sehingga relasi antara kedua belah pihak berjalan cukup harmonis. Di masa Sultan Nuku inilah, Tidore mencapai masa kegemilangan dan menjadi kerajaan besar yang disegani di seluruh kawasan itu, termasuk oleh kolonial Eropa. Di masa Sultan Nuku juga, kekuasaan Tidore sampai ke Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah Tidore, Sultan Nuku sendiri yang datang dan memberi nama pulau-pulau yang ia kuasai, dari Mikronesia hingga Melanesia dan Kepulauan Solomon. Nama-nama pulau yang masih memakai nama Nuku hingga saat ini adalah Nuku Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-lae, Nuku Fetau dan Nuku Nono.

Seiring dengan masuknya kolonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore. Namun, karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar, maka agama ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore.